Wednesday, February 27, 2013

Demokratisasi Seni Musik untuk Entertainment

Seni musik hiburan yang muncul di televisi, perlu memperluas jenis dan kategorinya, termasuk bahasanya. Musik khususnya lagu, bukan hanya dominasi bahasa Indonesia dan Inggris. Baru belakangan memang muncul cukup dominan lagu berbahasa Korea, itu terjadi berkat seni budaya pop Korea berhasil muncul ke permukaan internasional.

Demokratisasi dalam lagu hiburan perlu dilakukan untuk menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang menghargai pluralisme budaya. Toh bangsa kita adalah bangsa yang pluralis secara etnis dan bahasa daerah, termasuk kuliner, dan seni tradisi.

Saturday, January 26, 2013

Tugas Teaterawan Ikut Memperbaiki Film dan Sinetron

FTJ 2009, sumber foto: vibizdaily.com
Seni teater, film, dan sinetron seakan menjadi tiga dunia yang terpisah-pisah. Padahal sumbernya sama, yaitu seni pemeranan.

MEGAWATI Soekarnoputri ketika menjabat Presiden berujar seperti ini, “dengan merem saja saya bisa tahu film yang sedang ditayangkan itu film India atau film China.”
Komentar Ibu Mega berhenti sampai di situ. Tetapi sebenarnya, apa yang hendak disampaikannya, tidak diucapkan oleh Megawati. Komentar itu disampaikan Presiden seusai menonton film di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan.

Presiden ingin mengatakan, karya sinematografi kita kehilangan atribut diri, sehingga susah untuk diidentifikasi. Lain dengan film India atau China yang ilustrasi audionya kental dengan warna musik tradisi. Karena itu, sambil memajamkan mata pun, film India atau China masih bisa dikenali.

Pernyataan Megawati itu mengandung isyarat bahwa kualitas sinetron yang mewarnai televisi kita, terutama pada prime time, masuk ke dalam kategori buruk. Sebenarnya bukan hanya seorang Presiden yang memiliki penilaian kurang memuaskan terhadap sinetron kita. Ada banyak masyarakat, seniman, budayawan, bahkan pelaku sinematografi sendiri yang meresahkan dunia sinetron kita.

“Orang-orang film dan sinetron terlalu menggampangkan akting, sehingga yang terjadi adalah pendangkalan estetika. Naskahnya juga, tidak menantang para aktor untuk berakting dengan segala kewajaran, maka yang terjadi adalah seperti apa yang kita saksikan sekarang ini di televisi,” kata Putu Wijaya, sutradara Teater Mandiri.

“Sejak ada sinetron, saya sudah resah. Apa yang ditawarkan sinetron itu kebanyakan tidak berguna. Merusak moral anak-anak muda,” keluh Rusmiati, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah III, Pondokcina, Depok.

“Suka ada adegan berantem, pacaran, banyak yang aneh-aneh,” tutur Putri Pradnyaningrum, siswi kelas 2 MTS Negeri 4, Srengseng Sawangan, Jakarta Selatan.
Tapi tentu sinetron atau film kita tidak buruk semua. Terlepas dari persoalan akting atau elemen estetik lainnya, terdapat unsur yang menghibur dan mendidik.
Toh Putri menyukai sinetron berjudul Intan yang menurutnya ada pelajaran yang bisa diambil. Tapi Putri menilai sinetron berjudul Pergaulan Bebas kurang bagus untuk anak-anak seusianya.

Menurut Putu Wijaya, mayoritas orang-orang yang bergulat dalam dunia film dan sinetron di negeri kita ini tidak belajar acting, juga tidak mempelajari dasar-dasar dramaturgi untuk pembuatan naskah atau skenario. Terutama para aktor dan aktris, dengan memiliki tubuh yang bagus dan paras yang rupawan, bisa terjun ke dunia film atau sinetron. Di sini, yang terjadi bukan lagi instanisasi, tapi benar-benar telah melakukan penggampangan terhadap dunia seni peran. Hasilnya tentu saja sebuah tontonan seperti yang marak pada televisikita saat ini.

Dasar-dasar film dan sinetron adalah teater. Bahkan teater adalah ibu dari segala kesenian. Usianya sudah sangat tua. Sedangkan dunia film baru ditemukan manusia belum seabad ini, dan sinetron mulai muncul di Indonesia pada era 70-an, yaitu ketika televisi memasyarakat.

Dulu, para penggiat film kita adalah orang-orang teater. Usmar Ismail yang namanya diabadikan menjadi gedung pusat perfilman, adalah tokoh film yang juga aktivis teater. Di jaman Persatuan Artis Indonesia (Persari), pelaku film umumnya orang-orang yang terlibat dengan dunia teater, atau dasar-dasar mereka berakting untuk film berasal dari teknik bermain teater. Jamaluddin, Raden Mochtar, Soekarno M. Noor, Teguh Karya, Arifin C. Noer, Ninik L Karim, adalah aktor-aktor film yang bersentuhan dengan teater.

“Dulu, orang yang membuat film itu kan orang-orang teater. Namun sekitar tahun 70-an, mulai terjadi pemisahan film dengan teater. Film dianggap sebagai akting yang wajar, dan teater adalah akting yang teatrikal. Tapi sekarang terjadi kesalahan persepsi, bahwa yang dimaksud akting yang wajar itu sama dengan kehidupan sehari-hari, padahal di luar negeri, kewajaran dalam film itu tetaplah kewajaran sebuah akting, sehingga film dari luar itu selalu nampak ekspresif.
Seharusnya teater, film, dan sinetron ditempatkan sebagi dunia yang sama, yaitu dunia kesenian. Tetapi ada kesan itu adalah tiga dunia yang berbeda. Jangan salah, film dan sinetron saja persepsi orang itu sudah berbeda,” kata Putu Wijaya.

Perbedaan itu bukan saja terletak pada akting dan persepsinya. Tetapi juga pada apresiasi terhadap ketiganya. Orang tahu kesejahteraan aktor sinetron dan film itu lumayan bagus, bahkan banyak yang bagus sekali, dan setelah itu mendapat honor karena menjadi bintang iklan. Tetapi kesejahteraan pemain teater itu sangat menghawatirkan. Dalam dunia kesenian, kesejahteraan orang-orang taeter itu menempati kasta paria, kelas paling rendah.

Hanya segelintir aktor yang menempatkan teater, film, dan sinetron adalah dunia peran yang harus digeluti dengan sungguh-sungguh. Banyak orang teater yang mengharamkan kalau harus terlibat dengan film atau sintron karena bisa meruntuhkan idealisme. Sebaliknya, banyak orang yang film atau sinetron yang menganggap tidak berguna berlatih teater, sebab proses akting dalam teater dan film atau sinetron toh berbeda.

Tetapi Rendra yang dikenal sebagai salah satu embah-nya teater di Tanah Air, menganjurkan orang-orang teater harus terlibat dan menyerbu dunia film dan sinetron. “Kalau orang-orang teater merasa lebih baik dari film dan sinetron, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki kebudayaan kita, mereka harus terjun ke sana dengan itikad memperbaiki. Saya sendiri pernah main film. Tapi saya merasa tidak sanggup menjadi orang film,” tutur pemimpin Bengkel Teater yang main dalam film Yang Muda yang Bercinta itu, beberapa waktu lalu.

Dalam pada itu, tidak sedikit kritik dilontarkan kepada para taeterawan masa kini, bahwa saat ini teater mandul dalam melahirkan aktor-aktor kaliber sekaliber Teguh Karya, Rendra, Eros Jarot, Arifin C. Noer, Ninik L. Karim, Putu Wijaya, Adi Kurdi, Ratna Riantiarno, dan sederet nama laonnya.

Bahwa di era instan ini, proses bermain teater pun mengalami instanisasi, yaitu penggampangan, sehingga yang lahir adalah aktor-aktor masih mentah. Menyambut Festival Teater Jakarta 2006 (FTJ 06) yang berlangsung pada 07-17 Desember, harian Jurnal Nasional mengingatkan, bahwa tugas teaterawan semakin berat, bukan saja berteater dengan baik, tapi juga turut membenahi kebudayaan melalui dunia film, sinetron, dan televisi yang kualitas tayangannya mennghawatirkan.

Menunggu Naskah Ditulis Sendiri

Bertempat di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat, Festival Teater Jakarta 2006 (FJT 06) digelar sejak Kamis 7 Desember, dan akan berlangsung hingga 17 Desember 2006.

Inilah festival teater yang cukup tua usianya di Tanah Air. FTJ sudah digelar sejak 1973, sewaktu Wahyu Sihombing, tokoh teater di Tanah Air, menjabat Ketua Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta. “Festival itu dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, diikuti oleh 110 grup teater yang ada di Jakarta,” kata salah satu panitia dalam konprensi pers di TIM, Senin pekan lalu.

Pantas bila FTJ disebut sebagai ruang pembinaan, sebab banyak tokoh-tokoh teater yang lahir melalui ajang tahunan itu. Pada tahun 70-an, FTJ ini benar-benar merangsang gairah untuk berteater. Pada 1980, peserta festival mencapai 142 grup. Tetapi kini, FTJ diikuti oleh 18 grup. Dari sisi kuantitas, jelas telah terjadi penurunan.

Grup yang akan tampil itu adalah Teater Ema, Teater Ras, Teater Ciliwung, Teater Mega-mega, Teater Indonesia, Teater Kolong Langit, Teater Kummis, Teater Kubus, Teater Biru 42, Teater El Na’ma, Teater Komunitas Kaki Lima, Teater Mode, Teater Cermin, Teater Kertas, Teater Semat, Teater SBKMN, Teater Sapu Lidi, Studi Teater 24.

Yang segera ketahuan menjadi satu kelemahan dari FTJ tahun ini, dan tahun-tahun sebelumnya, adalah soal naskah. Dari 18 grup yang tampil, hanya tujuh grup yang membawakan naskah karangan orang Indonesia. Lebih banyak merupakan naskah karya orang asing hasil terjemahan atau saduran.

Padahal posisi naskah pada sebuah teater itu sangatlah penting. Naskah yang baik akan merangsang seorang aktor untuk bermain dengan baik. Untuk sebuah festival yang bersifat pembinaan, sudah seharusnya FTJ juga menyarankan setiap grup yang tampil wajib membawakan naskah sendiri, sehingga grup teater itu dipicu untuk menulis.

Sekalipun sebuah pertunjukan teater yang ditampilkan merupakan eksperimental yang terkadang nir-dialog, tetapi pada peristiwa pertunjukan yang dipersiapkan melalui sebuah latihan, pastilah terdapat konsep dan plot. Konsep dan plot itu bisa ditulis, dan ini sudah bisa menjadi persyaratan untuk festival.

Kelemahan bangsa ini memang terdapat dalam soal menulis. Para leluhur kita jarang mencatat, sehingga banyak metode atau teknik yang tidak bisa diwariskan kepada generani kemudian. Metode atau teknik membuat candi Borobudur misalnya, tidak pernah ditemukan manuskripnya, sebab besar kemungkinan metode dan tekniknya tidak pernah dicatat.

Teater modern kita akan selalu mengekor ke Barat selama kita masih menggunakan naskah-naskah Barat. Sudawah seharusnya para teaterawan kita ‘dipaksa’ menulis, sedari menulis naskah, konsep, resensi atau kritik pertunjukan, serta dasar-dasar bermain teater menurut persipnya.

Tulisan ini pernah dimuat di koran Jurnal Nasional.

Friday, January 25, 2013

Hamlet ala Teater Aristokrat

Teater Aristokrat memainkan lakon Hamlet di TIM. Lumayan menghibur walau masih kurang greget di beberapa adegan.

Naskah karya William Shakespeare bisa menjadi jaminan sebuah pertunjukan teater yang digelar, bakal enak ditonton. Ini hanya sebuah asumsi. Memang, naskah yang bagus, bisa memancing para aktor untuk berperan dengan bagus pula.

Asumsi itu tidak meleset ketika Teater Aristokrat mempertontonkan lakon Hamlet yang merupakan mahakarya penulis drama asal Inggris itu. Pertunjukan Hamlet berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 7 – 9 November 2007 lalu.

Pertunjukan itu berlangsung sekira 345 menit (empat jam kurang seperempat). Ada parameter konvensional untuk menakar sebuah pertunjukan teater dinilai bagus atau tidak, berkenan atau membosankan penonton. Pertunjukan teater yang kurang bagus, biasanya membuat penonton tertidur, dan atau satu per satu meninggalkan gedung pertunjukan. Namun, pertunjukan yang disutradarai Ucok R Siregar itu tidak membuat penonton beranjak dari gedung. Dalam beberapa adegan, terdengar tawa penonton. Ini menjadi indikasi, penonton merespon pertunjukan dengan keterlibatan yang intens.

Sekira dua hari sebelum menonton pertunjukan ini, seorang teman saya berkata, “ngapain nonton Teater Aristokret, permainan mereka kan tidak bagus.” Setelah menonton Hamlet yang mereka bawakan itu, praduga teman saya tidak tepat. Memang, publik teater stakat ini sedang underestimate terhadap kualitas akting para aktor teater. Kualitas akting makin memburuk drastis bila dibandingkan dengan era Arifin C. Noer, Rendra, Suyatna Anirun, Adi Kurdi, Jim Adilimas, Teguh Karya, Putu Wijaya, Riantiarno.

Ada harapan bahwa aktor teater, juga film, akan kembali bertumbuh dengan kualitas yang bisa diandalkan dan benar-benar memikat untuk ditonton. Setidaknya dalam pertunjukan Hamlet, akting Ayez Kassar (pemeran Hamlet), Robinsar H Simanjuntak (Raja Claudius), Epy Kusnandar (Polonius), Ari Kusuma (Ratu Getrude) masih menyajikan akting yang nikmat ditonton. Keempat aktor inilah yang sanggup menjaga irama dari awal hingga akhir, sehingga pertunjukan berjalan stabil. Keempat aktor ini kebetulan menjadi tokoh sentral yang sering muncul.

Tokoh sentral yang juga cukup penting, yaitu Ophelia yang diperankan Rosita memang kurang muncul. Beberapa adegan kunci seperti ketika Ophelia menjadi gila, kurang gereget diperankan oleh Rosita. Ada juga aktor yang melafalkan dialognya terlalu cepat, sehingga suaranya terdengar bergulung-gulung.

Akting paling menghibur adalah yang dimainkan oleh Epy Kusnandar. Banyak-banyaklah ia memerankan adegan-adegan konyol yang humoris. Saya menduga, ada sejumlah akting improvisasi yang dilakukannya untuk menambah daya humor. Improvisasi bukan sesuatu yang haram dalam dunia akting, apalagi sejauh improve itu dilakukan untuk menyelamatkan kecelakaan pentas. Ada sutradara yang mengharamkan improvisasi.
Tetapi untunglah, improvisasi Epy Kusnandar masih terukur, sehingga tidak menciderai pertunjukan teater realis yang membutuhkan kecermatan dan ketepatan.

Pertunjukan Teater Aristokrat memang di luar dugaan saya yang sudah terlanjur ikut-ikutan underestimate. Pertunjukan mereka membuka memori saya pada pertunjukan Julius Caesar, juga lakon gubahan Shakespeare, yang dimainkan Studiklub Teater Bandung (STB) pada 1997. Saat itu, Julius Caesar dimainkan STB dengan sutradara Suyatna Anirun. Naskah Julius Caesar sangat kontekstual dengan kondisi sosial-politik di Tanah Air. Saya merasa terserap oleh jalan cerita yang didedahkan Shakespeare. Konflik batin dalam setiap tokoh, berhasil dibawakan oleh para aktornya, membuat tontonan tiga jam tidak terasa berlalu.

Naskah-nasakah yang digubah Shakespeare, terutama yang bersifat tragedi memang memiliki nilai universal. Meski naskah itu berkisah tentang peradaban manusia berberapa abad yang sudah lewat, namun selalu terasa aktual dan kontekstual sekalipun jaman telah berubah.

Inggris pernah didera krisis di masa Hitler berjaya dan nyaris menduduki Istana Birmingham. Biaya perang cukup besar. Mempertahankan peradaban juga butuh biaya besar. Penguasa Birmingham bertanya kepada anggota parlemen, apakah dana kita yang minim akan digunakan untuk mempertahankan India sebagai daerah koloni atau mempertahankan keharuman Shakespeare. Parlemen memilih Shakespeare. Maka naskah-naskah Shakespeare pun terus digali dan dipromosikan, hingga terkenal ke seluruh penjuru dunia.

Shakespeare (1564 – 1616) adalah dramawan paling populis sepanjang abad. Kehadirannya langsung meruntuhkan dominasi para penulis naskah teater klasik dari Yunani seperti Homers atau Aristophanes. Sebelum bermunculan naskah Shakespeare, para penulis Yunani adalah referensi naskah paling sering dimainkan untuk pertunjukan teater. Lakon-lakon Shakespeare kini belum tertandingi popularitasnya, sehingga menjadi lakon paling banyak dipanggungkan maupun difilmkan.

Pertunjukan Hamlet oleh Teater Aristokrat, nampak sudah berusaha diselenggarakan dengan pendekatan sosio-kultur seperti yang diamanatkan Shakespeare. Seting Eropa dalam lakon Hamlet, berusaha diwujudkan dalam pertunjukan ini. Hal itu terlihat pada artistik panggung, kostum, ilustrasi musik, tarian, dan gesture bangsawan yang semuanya mencitrakan peradaban Eropa di abad pertengahan.

Ilustrasi musik dihadirkan dalam bentuk orkestrasi gitar. Penata musik Amra Reza, mengadirkan lebih dari 10 pemetik gitar klasik. Permainan musik itu sendiri, sudah bisa menjadi konser yang merdu untuk didengarkan.

Dari awal hingga akhir, pertunjukan Hamlet oleh Teater Aristokrat, berhasil menemukan bentuk baku. Ini wajar, toh personel Teater Aristokrat adalah mahasiwa dan dosen yang belajar-mengajar teater di Jurusan Teater, IKJ. Tentulah ada bagian-bagian yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan seandainya lakon ini kembali dimainkan, yaitu pada kata-kata atau kalimat-kalimat kunci yang menjadi sumber konflik. Harus selalu disadari, hakikat sebuah drama (naskah teater) terdapat pada konflik yang dijalinnya. Beberapa konflik menjadi kurang tajam dalam pertunjukan ini, karena kurang mendapatkan penegasan melalui pelafalan atau gerak tubuh.

Sebagai misal, pura-pura gilanya Hamlet, kurang diperankan dengan liar oleh Ayez. Hamlet dalam keadaan normal dan gila, belum nampak berbeda secara kontrastif. Kontrastif berperan ini menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

Shakespeare adalah rajanya merajut konflik, dan membuat cerita berbingkai yang tetap tanpa kehilangan konflik. Karena itu, untuk para aktor teater yang memang benar-benar ingin menjadi aktor profesional, harus pernah merasakan bermain teater dengan lakon gubahan Shakespeare.


Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Koktail (sekrang tabloid ini sudah tutup usia).

tulisan yang nyambung